Ternyata di luar sana masih banyak orang baik yang bekerja
sebagai volunteer tanpa mengharapkan upah sepeser pun, sungguh merupakan
pekerjaan yang mulia. Semoga energi dan tenaga yang dikeluarkan diberi ganti
yang berlipat-ganda oleh Tuhan…
Pendakianku kali ini aku diberi kesempatan
untuk mendaki gunung Sumbing, Jawa Tengah. Memang sudah menjadi keinginan
lamaku untuk dapat mendaki triple S (Sindoro,
Sumbing, Slamet), dan Alhamdulillah aku dapat menyambangi salah satu gunung
ini. Tanggal 17-18 November 2012 tepatnya hari Sabtu-Minggu kami tim Palaga
berangkat bersembilan orang yaitu Deni, Papa Jo, Anes, Mega, Baizil, Sarwan,
Yudha, Ryan, dan Momonway berangkat dari Jogja menuju Wonosobo.
Pukul 11.30 kita berangkat dari Jogja
menuju Wonosobo yaitu dengan menggunakan sepeda motor, kita beriringan di jalan
yang awalnya dari Jogja sampai Magelang kepanasan matahari, dan sampai daerah
perbatasan Magelang-Temanggung kita diguyur hujan deras, sampai mantel yang
kita kenakan tidak dilepas hingga sampai di Wonosobo.
Kita bersembilan belum pernah dan belum
tau jalur mana yang akan kita lewatin, akhirnya berbekal dari teman Deni di FB
dan no HP kita selalu dikontak dihubungi. Akhirnya kita sampai di Pasar Kertek
pukul 15.30, dan diarahkan untuk ambil kiri dan naik ke jalur Bondowongso. Ternyata
kita sudah dijemput oleh beberapa orang yang telah menunggu kita, padahal
sebelumnya kita belum pernah bertemu sama sekali. Namun aku tau bahwa mereka
adalah orang-orang yang ramah dan baik, kemudian kita segera ke basecamp
pertama, kita berkenalan dan tanya-tanya mengenai pendakian gunung Sumbing yang
melalui jalur ini.
Ternyata basecamp yang kita tempati
bukan merupakan start pendakian, melainkan kita harus naik lagi menuju kampung
yang paling atas, sehingga kita harus mengendarai sepeda motor menuju kampung
teratas dan menitipkan sepeda motor ke Pak Lurah. Setelah menjamak sholat
dzuhur-ashar kita makan kemudian segera packing ulang, karena ada yang bilang
kalau lama perjalanan pendakian gunung Sumbing perlu waktu sekitar kurang lebih
9 jam pendakian.
Pukul 17.00 kita naik menuju rumah Pak
Lurah, dan apa yang membuat kita terpana, yakni jalan yang harus kita lewatin
merupakan jalan 80% rusak total, jalan aspal yang tinggal bongkahan-bongkahan
batu besar. Harus berdzikir memang, ketika melewati jalur tersebut,
Alhamdulillah sekitar 20 menit perjalanan dengan motor seperti sedang
mengendarai lomba pacuan kuda. Kasian motor metikq, sebenarnya kurang cocok
jika harus dipaksa melewati jalan seperti itu, tapi tak apalah yang penting
kita sudah sampai di desa paling atas.
Pukul 17.30 setelah menitipkan motor,
kita segera memulai pendakian kita diantar oleh mas-mas volunteer, kemudian
kita berdoa bersama untuk keselamatan kita dalam perjalanan pendakian hingga
puncak gunung nanti. Kebetulan sanset dikala petang waktu itu sangat bagus
sekali, berwarna jingga kemerah-merahan.
Seperti biasa nafas pendakian pertama
terasa sangat berat sekali, jalur Bondowongso ini kita mulai dari ladang
penduduk yang kurang lebih kita lalui selama 2 jam, dengan metode MLML (mlaku leren mlaku leren). Setelah
ladang habis kita melewati jembatan jurang, dan menaiki lereng hingga bertemu
dengan hutan lebat. Sepertinya jalur yang kita lalui merupakan jalur yang
jarang dilewati pendaki, karena dalam pendakian waktu itu kita tidak pernah
bertemu dengan pendaki-pendaki lain. Dalam benakku mungkin nantinya di pos 3
kita bisa bertemu dengan pendaki lain.
Pukul 22.30 kita sampai di hutan yang
telah gundul, yakni bekas kebakaran gunung Sumbing itu artinya menandakan bahwa
kita telah sampai di pos 2. Dari posisi ini kita bisa melihat gunung Sindoro
dan pemandangan lanskap lampu penduduk, yang gemerlip-gemerlip indah,
subhanalloh, sehingga kita memutuskan untuk mendirikan dome di tempat ini.
Setelah 5 jam pendakian ternyata capek juga, kita berbagi tugas yang cowok
mendirikan dome sedangkan yang cewek memasak kopi dan mie rebus untuk
menghangatkan badan.
memasak mie dan kopi |
Udara memang cukup membeku sehingga
perlu jaket tebal, setelah makan dan aku menjamak sholat maghrib-isyak kemudian
kita bersiap-siap untuk istirahat, dalam doaku aku berbisik terimakasih ya
Alloh karena dalam perjalanan ini tidak turun hujan, kita berencana bangun jam
4.00 untuk melanjutkan ke puncak. Sepertinya capeknya badan membuat tidur kami
sangat terlelap dan nyaman, walaupun salah satu dari kita ada yang tidur sambil
menggigil kedinginan. Alhasil yang bangun pertama jam 4.00 hanyalah Papa Jo,
dan yang lain masih nyaman beselimut slipping bag sehingga kita bangun jam
5.00.
Udara pagi di lereng gunung Sumbing
waktu itu benar-benar membeku, namun pemandangan yang terlihat, sangat sayang
jika dilewatkan seperti biasa kita mengabadikan jerih-payah kita sampai di
tempat ini dengan foto-foto.
Untuk melanjutkan pendakian ke puncak
kita makan mie dan minum susu, dome dan barang bawaan kita tinggal di tempat,
kita yakin pasti aman, karena di pos ini pun kita tidak bertemu dengan
pendaki-pendaki lain. Pukul 6.00 kita berjalan menuju puncak, awalnya
bersembilan kita jalan beriringan, kemudian setelah ada lereng yang terpisah
oleh cekungan aku dan Deni memilih untuk melewati lereng sebelah, karena aku
pikir jalannya lebih mudah. Sehingga kita terpisah menjadi 7 orang dan 2 orang,
karena hutan gunung sumbing habis terbakar sehingga kita masih bisa melihat
teman kita yang melewati jalur lereng yang berbeda.
di lembah gunung sumbing yang meliuk-liuk indah |
Kenampakan lereng dan lembah yang
meliuk-liuk sepertinya gunung ini seperti gunung Merbabu namun jarak pandang
luasnya pemandangan lebih indah di gunung Sumbing ini. Pagi yang cerah waktu
itu membuat deretan gunung-gunung terlihat dengan jelas, yakni tetangganya
yaitu gunung Sindoro, pegunungan Dieng yang seperti tembok-tembok sisa gunung
api purba Dieng yang besar, serta lanskap permukiman penduduk yang terlihat
dari atas.
melihat lanskap pemandangan dari atas |
Jalur yang aku lewatin dengan Deni
ternyata melewati padang ilalang yang sangat bagus, sehingga aku merasa lebih
beruntung ketika melewati jalur ini. Kenampakan yang seperti ini aku pikir sama
dengan padang ilalang yang ada di gunung Lawu, namun semua memiliki ciri khas
yang berbeda-beda tentunya.
momonway dengan padang rumput ilalang |
View padang rerumputan ini membuatku
terhanyut dalam keindahan yang luar biasa, terimakasih ya Alloh engkau telah
memberikan kesempatan terbaik untuk dapat menjangkau tempat indah ini.
hampir sampai di puncak |
Sekitar pukul 8.00 kita baru bertemu di
jalur pertemuan dua lereng yang kita lewati, puncak masih lumayan jauh dan
lereng berbatu masih panjang untuk kita daki, setapak demi setapak aku jalani,
sepertinya ketika kaki sudah terasa payah batinku selalu bertanya “apakah aku
bisa menakhlukan puncak gunung ini”? perasaanku pun menjawab “jika kau mampu
bertahan menghadapi ego capekmu maka engkau pasti bisa”! gejolak dalam diriku
terus berlangsung, dan sepertinya untuk menggerakkan kaki menapaki batu-batu
kakiku sudah tidak mau lagi, namun aku percaya aku pasti bisa.
Alhamdulillah, dengan kondisi badan
yang sudah lelah stadium 5 akhirnya segerombolan bunga edelweiss dapat
melupakan sejenak rasa capek, aku menciumnya dan berfoto dengannya tanpa aku
memetiknya.
background bungan edelweiss yang sedang kembang |
Terdengar dari atas kalau puncak sudah
sedikit lagi, langsung aku gerakkan langkah kakiku menuju puncak gunung
Sumbing, sedikit demi sedikit dan Alhamdulillah aku sampai puncak di ketinggian
3306 m.dpal. di puncak gunung ini kita bisa melihat kaldera yang masih ada
kawahnya yang mengepulkan asap, kita kibarkan bendera merah putih di puncak ini.
Foto bersama di puncak.
Di atas gunung ini kita mengadakan
upacara kecil-kecilan sebagai tanda nasionalisme kita terhadap bangsa dan sang
saka Merah Putih, kita kibarkan bendera dan menyanyi lagu Indonesia Raya. Aku
pikir mungkin ini merupakan upacara bendera yang paling khidmat dari sekian
yang aku rasakan, karena ini adalah puncak tertinggi gunung Sumbing, seperti
lagunya coklat “merah putih teruslah kau
berkibar di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini”. Setelah selesai kita
mencium bendera satu persatu dan kita lanjutkan untuk turun dari puncak pukul
11.30.
Menuruni gunung memang lebih cepat jika
dibandingkan dengan naiknya, namun sendi kaki terasa di tekan-tahan, sakit plus
capek plus laper plus haus jadi satu, namun tetep berusaha hingga pukul 14.00
kita baru bisa sampai di dome karena ketika menuruni lereng gunung, kabut cukup
tebal sehingga mengganggu jarak pandang kita.
Lapar kemudian membuat mie dan makan
nasi yang dibawa kemarin, kemudian merubuhkan dome dan packing barang. Namun
cuaca semakin gelap dan kabut semakin tebal, tiba-tiba tetes air menerpa di
wajahku, wah-wah sepertinya mau turun hujan, dan perkiraan memang benar. Turun
hujan deras, sehingga kita turun dari Pos 2 sekitar pukul 14.30. hujan yang
cukup deras mengakibatkan jalan setapak menjadi jalur larinya air, alhasil
wajar selama menuruni gunung terpeleset dan tergelncir berkali-kali. Ternyata
memang perjalanan sangat jauh jika melewati jalur Bondowongso ini. Jauuuuhhh
banget, karena posisi hujan jadi kita tidak merasa haus dan tidak banyak
istirahat. Akhirnya sampai rumah pak Lurah pukul 17.30 dan mengambil motor
untuk kembali ke basecamp pertama.
Pendakianku kali ini sangat berkesan,
sangat capek dan aku pasti akan merindukan capeknya mendaki. Momonway akan
selalu berusaha untuk dapat menyambangi puncak gunung-gunung yang lainnya,
amienn…
Terimakasih telah menyimak cerita
perjalanan ini, sekiann……………